Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

MEMASANG LENCANA FACEBOOK DI BLOG

Written By cindi on Selasa, 30 November 2010 | 09.43

Jika sebelumnya, Aku pernah menuliskan cara Memasang Banner Blog pada Facebook, maka artikel kali ini akan menjelaskan bagaimana cara memasang lencana facebook pada blog. Tujuan pemasangan lencana Facebook pada blog atau web Anda adalah untuk menambah jumlah pengunjung blog kita. Selain itu dapat menambah pertemanan pada situs jejaring sosial yang paling populer saat ini. Buat para facebookers yang ingin facebooknya punya banyak temen dan laris manis, Kalian harus tau tips yang 1 ini, Selain dapat mempercantik blog atau web Anda, juga berfungsi sebagai iklan. Jika tertarik, silahkan ikuti tipsnya berikut ini.

  • Login ke akun facebook Anda.

  • Kemudian pilih Profil, seperti gambar di bawah ini.




  • Kemudian scroll ke bawah, klik “Buat Lencana Profil” yang ada di bagian kiri bawah.



  • Akan tampil halaman untuk pengaturan “Lencana Profil”, seperti di bawah ini.



  • Klik “Buat Lencana Baru” untuk membuat lencana facebook.


  • Lakukan pengaturan sesuai selera Anda. Tata letak dapat dipilih di antara “Tegak”, “Mendatar”, “2 Kolom”. Isi dapat dicentangi beberapa atau semua opsi yang ada, seperti “Photo Profil”, “Nama”, “Jaringan”, “Kota Asal”, “Kota Sekarang”, dan lain-lain. Setelah selesai melakukan pengaturan, kemudian klik “Simpan



  • Setelah itu, kita akan mendapatkan kode scriptnya, seperti gambar di bawah ini.



  • Langkah selanjutnya adalah menempatkan script tersebut pada blog atau website milik Anda.


  • Login ke blogger / wordpress, hingga masuk Dasbor >> Tata Letak >> Tambah Gadget / Widget >> Tambahkan HTML/Javacript. Kemudian pastekan kode script lencana facebook yang telah Anda buat. Simpan perubahan. Selesai



  • Semoga Bermanfaat

09.43 | 0 komentar

MEMBUAT PROGRAM KALKULATOR SEDERHANA

Written By cindi on Senin, 29 November 2010 | 09.30

Artikel kali ini akan membahas tentang belajar pemograman sederahan, yakni bagaimana cara membuat kalkulator sederhana dengan JavaScript. Cara membuatnya cukup mudah dan anda tidak usah repot-repot memutar otak untuk merangkai kode demi kode. Selain sederhana program kalkulator ini dapat Anda edit sesuai dengan keinginan Anda. Untuk membuatnya anda hanya perlu membuka program notepad di komputer Anda dan mengcopy paste kode di bawah ini pada notepad. Kemudian Simpan file dalam format html, caranya dibagian save as type diganti ke allfiles kemudian tambahkan .html pada nama file contohnya namafile.html, lalu buka file tersebut melalui browser. Penasaran? Berikut Kodenya

Calculator I

<html>
<head>

<title>Kalkulator | BLOG ANAK BANGSA</title>
</head>
<SCRIPT LANGUAGE="JavaScript">
function penjumlahan() {
var a1=prompt("Masukkan angka pertama :",0);
var a2=prompt("angka "+a1+ " mau ditambahkan dengan angka berapa?",0);

c=eval(a1)+eval(a2);
document.write("Hasil dari "+a1+"+"+a2+"="+c);
}
function pengurangan() {
var a1=prompt("Masukkan angka pertama :",0);
var a2=prompt("angka "+a1+ " mau dikurangi dengan angka berapa?",0);
c=eval(a1)-eval(a2)
document.write("Hasil dari "+a1+"-"+a2+"="+c);
}

function perkalian() {
var a1=prompt("Masukkan angka pertama :",0);
var a2=prompt("angka "+a1+ " mau dikalikan dengan angka berapa?",0);
c=eval(a1)*eval(a2)
document.write("Hasil dari "+a1+"x"+a2+"="+c);
}
function pembagian() {
var a1=prompt("Masukkan angka pertama :",0);
var a2=prompt("angka "+a1+ " mau dibagi dengan angka berapa?",0);

c=eval(a1)/eval(a2)
document.write("Hasil dari"+a1+"/"+a2+"="+c);
}
</SCRIPT>
<body onload="alert('Silahkan klik tombol untuk memulai perhitungan')">
<a href="" onMouseOver="alert('Copyright @ BLOG ANAK BANGSA | www.ifoell.blogspot.com')">
<font color='blue' size=6><u> Kalkulator by www.ifoell.blogspot.com</u></font></a><br><br>

<input type="button" value="Penjumlahan" onClick="penjumlahan()">
<input type="button" value="Pengurangan" onClick="pengurangan()">
<input type="button" value="Perkalian" onClick="perkalian()">
<input type="button" value="Pembagian" onClick="pembagian()">
</body>
</html>

Copy kode di atas (warna merah), paste pada program Notepad. Simpan file dalam format html, Contoh : Calculator.html, dibagian save as type diganti ke all files. Selain kode pertama di atas, berikut kode lain cara membuat program kalkulator sederhana dengan menggunakan notepad.

Calculator II


<html>
<title>Program Kalkulator Sederhana | BLOG ANAK BANGSA</title>
<SCRIPT LANGUAGE="JavaScript">
window.defaultStatus="Support by www.hadi.web.id"
function tambah()
{
a=eval(form.a.value)
b=eval(form.b.value)
c=a+b
form.hasil.value = c
}

function kurang()
{
a=eval(form.a.value)
b=eval(form.b.value)
c=a-b
form.hasil.value=c
}

function kali()
{
a=eval(form.a.value)
b=eval(form.b.value)
c=a*b
form.hasil.value=c
}

function bagi()
{
a=eval(form.a.value)
b=eval(form.b.value)
c=a/b
form.hasil.value = c
}

function pangkat()
{
a=eval(form.a.value)
b=eval(form.b.value)
c=Math.pow(a, b)
form.hasil.value = c
}

function kosong()
{
form.a.focus()
form.a.value=""
form.b.value=""
form.hasil.value=""

}

</SCRIPT>

<body onload=kosong()>
<CENTER>
<font size="5">Program Kalkulator</font>
<hr size="5" color="red">
<FORM name="form">
<pre>
Angka 1 <input type="text" name="a">
Angka 2 <input type="text" name="b">

Hasil <input type "text" name="hasil" disabled="true">
</pre>
<hr size="2" color="blue">
<input type="button" value=" + " onClick="tambah()">
<input type="button" value=" - " onClick="kurang()">
<input type="button" value=" x " onClick="kali()">
<input type="button" value=" / " onClick="bagi()">
<input type="button" value=" ^ " onClick="pangkat()"><br>
<input type="button" value=" Kosong " onClick="kosong()">

<br>
Oleh: BLOG ANAK BANGSA<br>
Support by: http://ifoell.blogspot.com
</FORM>
</CENTER>

</body>
</html>

Cara membuatnya sama dengan cara pertama. Tinggal Copy kodenya (warna biru) dan simpan di notepad dengan menggunakan ekstention file .html. Semoga Bermanfaat


09.30 | 0 komentar

DENDANG SEPANJANG PEMATANG

Written By cindi on Minggu, 28 November 2010 | 06.08

Adalah kenangan yang menghimbauku untuk menengok pohon randu itu. Letaknya menjorok sekitar sepuluh meter di sebelah kiri jalan masuk kampung. Dahan-dahannya seperti masa lalu yang merentangkan tangan. Aku tergoda untuk membelokkan langkah ke sana. Bersijingkat menyibak rimbun ilalang setinggi pinggang. Ohoi, pohon randu, inilah dia si anak hilang. Lama sudah dia tak pulang. Sambut dan peluklah dia sepenuh kenang. Kutelisik sisi belakang batang randu itu. Sekian tahun silam, menggunakan sebilah belati milik kakek yang kupinjam tanpa izin beliau, aku dan beberapa teman bergiliran memahat nama kami di sana. Tak ada lagi ukiran nama kami.

Aku tersenyum kecut menyadari kebodohanku barusan. Bukankah pohon randu terus tumbuh seiring guliran waktu? Kuletakkan pantat di tanah yang lembab. Menyandarkan punggung di kekar batang randu. Kuhela napas haru. Aroma humus dan ilalang mengepung dari segenap penjuru.

Dari pohon yang jadi tapal batas kampung ini dengan kampung seberang, kusaksikan pagi menggeliat lagi. Ufuk timur perlahan benderang. Aku teringat selembar kartu pos bergambar sunrise yang mengintip dari balik punggung gedung-gedung pencakar langit. Seorang teman mengirimnya dari negeri yang jauh. Konon dia sekarang jadi kelasi kapal pesiar. Entah di belahan dunia mana dia kini berada. Masih ingatkah dia pada pohon randu ini? Masih ingatkah dia pada Pak Narto, guru kami dulu? Andai dia tahu beliau telah mangkat, sanggupkah dia lipat jarak dan waktu agar bisa ikut mengantar kepergiannya?

Kemarin siang, di tengah raung mesin pabrik, ponsel tuaku bergetar. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget mendengar suara Ayub. Dia salah seorang sahabatku di kampung. "Pak Narto wafat!" jeritnya dari seberang sana. Sebelum mengakhiri percakapan yang tergesa-gesa, Ayub minta tolong agar kabar duka itu kusampaikan secara berantai ke teman-teman lain. Kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak.

***

Aku tertegun menatap rumah Ayub. Dindingnya dari papan. Di samping kiri ada tumpukan kayu bakar. Tanaman hias memagari rumahnya. Ada kuntum kembang sepatu dan melati baru mekar. Sedap dipandang mata. Di depan rumah ada bale-bale bambu. Ruas-ruasnya sudah renggang. Kuucap salam di depan pintu yang separuh terbuka. Terdengar sahutan, langkah tergopoh, dan derit pintu yang dikuak.

"Man?!" Dia terperangah. Aku tersenyum. Sudah lama kami tak bersua. Detik itu juga, waktu seolah berhenti ketika kami saling berpelukan.

"Baru datang? Wah, pangling aku. Gemuk kau sekarang. Sudah jadi orang rupanya. Ah, sampai lupa aku. Ayo masuk." Runtun kalimatnya. Dia tepuk-tepuk dan rangkul bahuku. Aku duduk di kursi rotan ruang tamu. Tas kecil kuletakkan di lantai semen. Ayub memanggil istrinya. Dikenalkan padaku seraya minta dibuatkan dua gelas kopi.

Wajah Ayub yang sesegar pagi cepat menghapus letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos putih lusuh dan celana panjang hitam. Tubuhnya kekar. Kulitnya legam. Urat-urat lengannya menyembul keluar. Ketika senyum atau bicara, gigi putihnya berderet rapi. Dengan penuh keluguan ia dedahkan hidupnya kini.

Dari semua nama yang terpahat di batang randu, cuma Ayub yang masih setia pada kampung ini. Yang lainnya telah pergi menyabung nasib ke kota, ke pulau seberang, bahkan ke negeri orang. Ayub hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tua. Katanya, meski sempat diserang hama wereng, panen dua bulan lalu cukup lumayan. Hasilnya digunakan untuk menyulap tanah kosong di belakang rumah jadi empang. Dia pelihara ikan mas dan gurami untuk menambah penghasilan.

Aku ngilu waktu Ayub menyuruhku menginap di rumahnya. Tawaran itu menohok batinku. Aku tak punya apa-apa lagi di sini. Setengah windu setelah Emak menyusul Abah ke liang lahat, aku dan tiga saudaraku sepakat menjual sawah dan rumah. Kami ingin merantau. Mencari nasib yang lebih baik. Setelah hasil penjualan dibagi rata, kami pun berpencar ke penjuru mata angin.

Bagaimana menguraikan keadaanku pada Ayub? Aku cuma buruh pabrik tekstil di pulau seberang yang gaji tiap bulan ludes untuk menghidupi istri dan empat anak yang masih kecil. Bedeng kontrakan kami tak jauh dari kawasan pabrik. Berhimpitan dengan bedeng-bedeng lainnya. Lingkungannya kumuh, dikepung bacin selokan dan tempat pembuangan sampah. Kami sudah biasa antre mandi, buang hajat, atau cuci pakaian di WC umum yang ada di tiap pojok bedeng.

Ayub terpana mendengar ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela, "Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup."

Menepis risau, kuraih gagang gelas. Kuseruput kopi yang dihidangkan istri Ayub. Ah, kopi yang digoreng sendiri lebih nikmat rasanya. Sambil menyulut rokok, Ayub berkata, "Kenapa tak pulang saja, Man? Beli sawah. Bertani. Meneruskan tradisi keluarga kita dulu."
Aku tercekat. Sekian lama di rantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman, tak pernah terbersit di benakku untuk pulang.

***

Sepanjang jalan menuju rumah duka, kami kenang kawan-kawan lama. Maryamah, gadis lugu yang dulu pernah aku kesengsem padanya, kini jadi biduan orkes dangdut. Namanya diubah jadi Marta. Kata Ayub, jangan harap dia menengok jika dipanggil dengan nama asli. Darto, yang paling pintar di kelas kami, jadi tukang becak di kota. Sebulan sekali dia pulang menjenguk ibunya yang sakit tua. Aku kaget mendengar nasib Sumarno. Dia jadi bencong. Ngamen di gerbong-gerbong kereta. Lantas kuingat Abas. Ayub bilang, dia ketiban bulan. Hidupnya kini makmur. Mertua Abas orang kaya di kota kecamatan. Abas ditugasi mengurus koperasi. Kesempatan itu tak disia-siakan Abas. Dia pinjamkan uang pada orang-orang dengan bunga tinggi. Masih kuingat guyonan tentang Abas dulu. Jika ketemu Abas dan ular sawah dalam waktu bersamaan, lebih baik bunuh Abas duluan, sebab culasnya melebihi ular. Dan si Ahmad, anak pendiam dan alim itu, sekarang nyantri di sebuah pesantren di Madura.

Ah, waktu telah mengubah segalanya. Kisah teman-teman lama membuatku takjub, heran, campur sedih. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah di depan mata. Usai berdoa di sisi almarhum Pak Narto, kami beringsut keluar dari ruang tamu. Duduk di seberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Makin tinggi matahari, makin banyak pelayat datang. Aku termangu menatap rumah duka itu. Ada tarup besar memayungi halaman. Kursi-kursi plastik penuh terisi. Dari bisik-bisik yang kudengar, Marta yang membayar sewa tarup dan kursi itu. Dia tak bisa datang melayat.

Dulu warga kampung ini hidup penuh harmoni dan bersahaja. Meski tak ada hubungan darah, kami merasa selayaknya saudara. Kehidupan yang lambat laun sekeras batulah yang memaksa kami untuk memilih. Merantau jadi pilihan kami, anak-anak muda kala itu.

Sejauh-jauh terbang, warga kampung ini pasti mudik setiap lebaran. Cuma aku yang jarang pulang semenjak tak ada lagi yang tersisa di sini. Begitu juga jika ada yang meninggal, Kami yang di rantau pasti dikabari. Tapi, entah kenapa, sampai jenazah Pak Narto berkalang tanah di pemakaman umum di pojok kampung, hanya segelintir teman yang kutemui. Apakah sosok lelaki kurus jangkung dan ramah itu telah lesap dari ingatan mereka? Apakah rutinitas membuat mereka tak sempat lagi untuk sekedar menengok masa silam?

***

Hari kedua di kampung. Ayub mengajakku ke sawah. Pematang-pematang itu sudah tak sabar menunggu jejakmu, guraunya. Di jalan, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah atau ladang. Ada yang jalan kaki sambil menenteng pacul di bahu. Ada yang menggoes sepeda. Aku terharu. Mereka masih mengingatku dan meluangkan waktu sejenak untuk mengobrol.

Justru generasi muda kampung ini yang membuatku jengah. Beberapa kali kulihat mereka memacu sepeda motor sesuka hati. Ngebut di jalan tanah berbatu. Meninggalkan debu panjang di depan mataku.

Sawah Ayub beberapa puluh meter di depan sana, dekat rimbunan pohon pisang. Ketika masih ngungun menatap hamparan permadani hijau itu, Ayub mengajakku turun. Kapan terakhir kali aku meniti pematang? Alangkah jauh masa itu kutinggalkan.

Ayub melenggang tanpa kuatir tergelincir ke lumpur sawah. Aku jauh tertinggal di belakangnya. Melangkah tersendat-sendat sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
Lir ilir, lir ilir. Tandure wis semilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar...

Hawa dingin meniup tengkukku ketika mendengar tembang gubahan Sunan Bonang itu. Sempat terbersit untuk mengikuti Ayub berdendang sepanjang pematang. Namun, entah kenapa, bibirku terasa kelu.

Dari huma beratap rumbia, kusaksikan Ayub berkubang di tengah sawah. Batang-batang padi meliuk. Menimbulkan suara gemerisik ketika saling bergesekan. Sepasang kepodang terbang melayang di keluasan langit. Suara serunai terdengar sayu-sayup sampai. Entah siapa peniupnya. Mendengarnya, aku seakan terhisap dan sesat dalam masa lalu.

Kami pulang menjelang petang. Memutari jalan kampung. Meski lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa berenang. Sesampainya di sana, hati-hati kami turuni tebing penuh lumut. Aku rindu membasuh muka dengan air sungai. Kutangkupkan kedua telapak tangan lalu kucelupkan ke dalam air. Ayub terkekeh-kekeh melihat kelakuanku yang mirip anak kecil. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa puluh langkah menyusuri jalan sunyi, tiba-tiba Ayub mencekal bahuku. Tangannya menuding rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Aku ingat, Ayub pernah membidik burung dengan ketapel. Bidikannya paling jitu di antara kami. Burung itu jatuh dari dahan pohon. Menggelepar di semak-semak. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu. Ada sepasang remaja tanggung sedang asyik bercumbu.

Ayub menghardik mereka. Aku terpana. Merasa tertangkap basah, wajah keduanya pucat dan merah padam. Mereka buru-buru membenahi pakaian lalu setengah berlari menuju tempat motor diparkir. Kami kembali melanjutkan langkah. Wajah Ayub kaku. Sepanjang jalan dia bersungut-sungut memaki kelakuan dua anak tadi.

***

Harum bunga kopi merayap dibawa angin. Bintang bertaburan di langit lama. Suara jangkerik dan kodok jadi musik alam. Aku serasa sedang berada di sorga.
"Kampung kita sudah berubah, Man," kata Ayub sambil menatap cahaya kunang-kunang yang timbul tenggelam di rimbun ilalang.

"Ya, aku seperti orang asing di sini," suaraku gamang.
"Semua teman kita pergi merantau. Jadi TKI, babu, atau buruh sepertimu. Tetua kampung meninggal satu-satu. Apalagi sejak teknologi modern menyerbu. Kampung kita makin kehilangan jati dirinya. Asal kau tahu, apa yang kau lihat di tepi sungai tadi belum seberapa..."

Kalimat Ayub terakhir membuatku risau. Aku enggan bertutur lebih banyak. Aku harus tahu diri. Setelah memilih jadi manusia urban, aku tak punya kuasa apa-apa lagi di sini.

***

Izin cuti empat hari telah usai. Takziah tiga malam berturut-turut di rumah almarhum Pak Narto telah kuikuti. Aku harus pulang pagi ini. Rindu kampung halaman telah kutebus dengan hal-hal menyakitkan. Tapi biarlah kutelan dalam hati saja.

Dengan motor tuanya, Ayub mengantarku ke pasar di kampung sebelah. Di sana ada angkutan pedesaan yang trayeknya sampai ke terminal kota. Dari terminal itu aku akan menyambung perjalanan ke pulau seberang.

Persis ketika kami lewati pohon randu itu, lagi-lagi Ayub mengimbauku agar pulang saja. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin kukatakan. Namun sekedar menghibur diri, kukatakan pada Ayub bahwa aku punya mimpi yang sederhana. Satu saat nanti, jika ada uang, aku mau pulang. Membeli sawah. Bertani sambil beternak puyuh dan itik. Makan dari hasil keringat sendiri. Hidup tenteram bersama anak istri.

Ayub berjanji kelak akan menagih mimpiku. Sementara aku membayangkan omong kosong yang baru saja kuucapkan, cuma bisa tersenyum giris...***



Cerpen: M. Arman AZ
06.08 | 0 komentar

Asal Mula Bunyi Burung Tekukur

Written By cindi on Sabtu, 27 November 2010 | 07.25

Dahulu, diawal mula penciptaan segala mahluk di dunia ini oleh Tuhan, burung tekukur dan beberapa jenis hewan lainnya, mendapat kehormatan untuk dimukimkan Tuhan di jazirah tanah Bugis. Sebuah wilayah subur yang terbentang luas di propinsi Sulawesi Selatan. Kala itu, Nabi Adam belum diturunkan ke bumi. Kala dimana hewan dan tetumbuhan satu sama lain, mampu bercakap-cakap layaknya manusia. Anehnya, hewan-hewan dimasa itu tidak seperti tampang & tabiat mereka dizaman sekarang. Misalnya ular, kepalanya ada dua. Musang kulitnya ditumbuhi bulu domba. Dan buaya-buaya justru takut air dan memilih hidup didarat.

Bahkan katak, terkenal dengan kebiasaannya membawa tempurung kelapa kemana-mana untuk menudunginya. Dan di zaman itu, kambing belum memiliki tanduk seperti kambing-kambing yang kita saksikan sekarang. Meski demikian, hewan-hewan hidup dengan damai. Suasana tenteram tanpa kejahatan. Mereka saling menghargai satu sama lain. Hidup tolong-menolong. Jika seekor hewan membutuhkan sesuatu, maka hewan lain dengan senang hati akan membantu memenuhi kebutuhannya itu. Keadaan itu berlangsung sedemikian lama. Hingga sampai suatu hari..

Disebuah padang sabana yang ditumbuhi rerumputan hijau, seluruh binatang yang bermukim di jazirah Bugis terlihat berkumpul. Ada kerbau, rusa, anoa, ular, kambing, kera, dan segala jenis burung, termasuk burung tekukur ikut hadir. Yah, hari ini mereka menggelar musyawarah. Suasana pun riuh rendah.

Musyawarah dipimpin oleh seekor kerbau putih. Kerbau adalah hewan paling tua diantara semua hewan. Begitu tuanya, sampai-sampai seluruh helai bulu pada tubuhnya telah menjadi uban.

“Kawan-kawan bangsa hewan, tolong dengarkan saya“ teriak kerbau. Suasana yang tadinya ribut tiba-tiba berubah hening. Semua hewan sangat menghormati kerbau. Dia selama ini terkenal sebagai gurunya para hewan. Kerbaulah yang mengajarkan kepada anak-anak hewan berbagai macam ilmu yang berguna buat kehidupan mereka.

“Hari ini, sengaja saya memanggil kawan-kawan semua untuk sesuatu hal yang sangat penting“ kerbau melanjutkan ucapannya. “karena jumlah hewan semakin banyak, maka sudah saatnya kita menentukan siapa yang akan kita angkat untuk jadi pemimpin bangsa hewan. Ini penting kawan-kawan. Supaya hidup kita menjadi lebih teratur“

Suasana kembali ribut. Seluruh hewan terkejut dengan usul kerbau. Bukankah selama ini kita tidak terbiasa hidup dibawah pimpinan seseorang? kita adalah mahluk Tuhan paling merdeka di alam jagat raya ini? Pikir mereka. Namun sebagian besar hewan setuju. Ini ide yang sangat cemerlang. Demikian pendapat mayoritas yang hadir.

Ditengah keriuhan, musang berbulu domba mengacungkan tangannya. Ia mohon izin untuk berbicara. Kerbau mempersilahkannya. "Saya setuju dengan kerbau. Sudah saatnya kita punya pemimpin “ujar musang. Burung Beo juga ikut mengacungkan tangan. Saat berbicara, ia juga mengatakan “saya setuju pendapat Musang“

Lalu satu persatu hewan-hewan lainnya turut mengutarakan pendapatnya. Maka, saat matahari tepat diatas kepala, seluruh hewan akhirnya bermufakat untuk segera menunjuk salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin bangsa hewan.

“Lalu siapa yang akan kita tunjuk sebagai pemimpin “Tanya Kuda tiba-tiba mengejutkan. Semua kembali berguman riuh mendengar perkataan kuda.

Yah ! lalu siapa yang akan mereka tunjuk menjadi pemimpin diantara mereka? Hal ini susah-susah gampang. Karena mereka belum pernah punya pengalaman memilih lansung pemimpinnya. Ini adalah peristiwa pertama bagi mereka. Pertanyaan Kuda kini memusingkan seluruh hewan yang hadir.

Tanpa ada yang memperhatikan, dari atas punggung kambing, burung tekukur tiba-tiba berubah wajah mendengar gagasan si kuda. Ia hampir saja melonjak kegirangan. Tekukur mendadak mendapat dorongan yang kuat dalam hatinya untuk menjadi pemimpin bangsa hewan. Karena selama ini, burung tekukur merasa dirinyaah yang paling hebat diantara semua jenis hewan.

Kawan, tidak seperti burung tekukur yang kita saksikan di zaman sekarang, burung tekukur di zaman itu memiliki tanduk pada kepalanya. Tanduk itu kuat, keras, runcing dan tajam. Meski selama ini tekukur terkenal tak pernah jahat pada sesamanya hewan, namun tanduk itu membuatnya disegani oleh semua jenis hewan. Jangan sampai bila tekukur marah, tentu dengan mudah tekukur akan mencederai mereka dengan tanduknya itu.

Tekukur sebenarnya diam-diam bangga dan tinggi hati dengan kehebatannya itu. Dan kalau sekarang hendak diadakan pemilihan pemimpin bangsa hewan, maka ia merasa dirinyalah yang paling cocok untuk posisi itu. Namun hatinya was-was. Bagaimana jika hewan-hewan itu tidak memilihnya sebagai pemimpin?

Secara sepihak, tekukur mulai berprasangka buruk kepada kerbau. Jangan-jangan (lagi) kerbau berinisiatif menggelar musyawarah ini karena dirinyalah yang ngotot menjadi pemimpin?

Burung tekukur tak mau kecolongan, maka bersuaralah dia, “Bagaimana kalau pemimpin bangsa hewan dari kami bangsa burung. Bukankah jenis dan jumlah kami lebih banyak dibanding kalian semua?“

Mendengar perkataan tekukur yang terkesan congkak itu, seluruh binatang terhenyak. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketidaksenangan dan ketidaksetujuan. Perkataan tekukur telah menyinggung perasaan mereka. Mamun karena takut pada tekukur, mereka lebih baik memilih diam. Kecuali burung beo, ia berteriak ‘setuju! dengan usul tekukur....."

Ular berkepala dua yang berada disamping kerbau terlihat membisikkan sesuatu ketelinga kerbau. Kerbau mengangguk-angguk. Lalu berkata…

“Baiklah. Usul tekukur kita tampung. Tapi saya mengusulkan bagaimana kalau pemilihan kita tunda. Beri waktu kepada masing-masing dari kita untuk berpikir menentukan pilihan. Satu purnama lagi kedepan kita berkumpul disini untuk mengadakan pemilihan. Bagaimana?“ Sebelum hewan-hewan lainnya menyatakan sikap, burung beo mendahului menyatakan pendapatnya. Burung beo (lagi-lagi) menyatakan ‘setuju!‘ (juga) dengan usul kerbau itu.

Akhirnya seluruh hewan yang hadir sepakat dengan usul kerbau. Mereka pun kembali pulang kesarangnya masing-masing. Burung tekukur terpaksa ikut menyetujui. Meski dengan hati panas dan jengkel, utamanya pada kerbau.

Dalam perjalanan pulang, ular berkepala dua sengaja beriringan dengan tekukur. Dia tahu kalau tekukur marah dengan kejadian tadi. Dengan muka manis, ular berkepala dua mencoba menenangkan hati tekukur. “Sabarlah kawan. Sengaja aku arahkan kerbau untuk menunda pemilihan, agar kamu punya kesempatan untuk menggalang dukungan“ ujar ular. “Maksud kamu?“ Tanya tekukur balik. Ia curiga ular lah dalang dari penundaan tadi.

“Seandainya pemilihan lansung diadakan tadi, maka dapat kupastikan kerbau yang akan mendapat dukungan terbanyak“ urai ular. Benar juga. Batin tekukur dalam hati. “Jadi apa yang harus saya lakukan sekarang?“ Tanya tekukur lagi. Ular menggoyang-goyangkan kepalanya berlagak seperti penari India.

“Mulai hari ini, kamu harus mendatangi semua rumah hewan, kawan. Minta mereka untuk memilihmu pada saat pemilihan nanti. Jika mereka menolak, saya pikir tanduk kamu itu akan membuat mereka tidak berani macam-macam“

“Betul ! betul sekali kata-katamu itu“ tekukur mengangguk-angguk. Ia senang karena telah mendapatkan solusi. Kalau perlu ia akan mengancam mereka dengan tanduknya. Nafsu untuk segera menjadi pemimpin bangsa hewan menari-nari dipelupuk matanya. Tekukur telah dibutakan oleh keinginan berkuasa. Ia tak lagi peduli dengan segala macam etika dan norma kebaikan bangsa hewan yang mereka anut selama ini.

Sejak itu, tekukur setiap hari mendatangi satu persatu rumah hewan. Bila ada hewan yang menolak, ia bahkan tidak segan-segan mengancam mereka dengan tanduknya yang runcing. Hewan-hewan ketakutan. Bahkan bangau, rusa dan kuda dibuat cedera pada punggungnya oleh tusukan tanduk tekukur, hanya karena ketiga binatang ini terang-terangan melawan dan menolak.

Suasana hutan yang damai pun berubah. Tekukur telah berubah menjadi momok menakutkan. Dalam hati, kerbau merasa bersalah telah mengajukan usul untuk memilih pemimpin. Ia tidak membayangkan kalau keinginan untuk menggelar pemilihan pemimpin bagi bangsa hewan akan berdampak teramat buruk bagi kehidupan mereka.

Hari berganti hari. Siang berganti malam. Tekukur tak henti menebar ancaman. Tekukur telah berubah menjadi sosok jahat. Menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Tak tahan dengan tingkah tekukur. Sekumpulan binatang berinisiatif datang menemui kerbau. Mereka menggelar rapat sembunyi-sembunyi dirumah kerbau.

“Ini tak bisa dibiarkan. Tekukur semakin zhalim dan semena-mena. Kita harus menghentikannya“ ujar kuda terengah-engah. Kepada seluruh yang hadir, tak lupa dia memperlihatkan cedera pada punggungnya. Bukti nyata kejahatan tekukur.

“Tapi bagaimana? Siapa yang berani melawan tanduknya“ keluh Rusa. Ia sendiri telah merasakan ketajaman tanduk tekukur dua hari lalu. Kerbau tampak berpikir dengan sangat serius . Otaknya berputar-putar mencari akal. Dan akhirnya.., “Aku punya akal!“ tanpa sadar ia berteriak karena girangnya.

“Kekuatan tekukur ada pada tanduknya. Jadi untuk melumpuhkannya, maka kita harus mengambil tanduk itu terlebih dahulu“ urai kerbau singkat. “Tapi siapa yang berani mencabut tanduk itu. Kecuali kalau tekukur sendiri yang rela melepasnya. Dan kurasa mustahil tekukur akan memberikan tanduknya begitu saja“ sungut kuda kembali. Punggungnya sakit, namun hatinya lebih sakit lagi.

“Aku...! aku yang akan memintanya!“ kambing mengajukan dirinya. Lalu kambing melanjutkan. “Tekukur sangat percaya padaku. Selama ini akulah yang selalu menyediakan punggungku untuk ia tenggeri. Aku akan merayunya sampai ia mau melepas tanduknya itu“. “Kamu berani?“ Tanya serempak seluruh hewan disitu seolah tak percaya.

“Serahkan padaku. Lagipula aku sudah bosan ditenggeri oleh tekukur. Kadang ia buang hajat seenaknya saja dipunggungku. Seolah aku ini jamban baginya“ gerutu kambing.

Keesokan harinya kambing berjalan-jalan ke sabana. Seperti biasa. Disiang hari adalah waktu biasanya tekukur mencari kambing untuk ia tenggeri. Tak sampai sepeminum teh, tekukur datang, lalu hinggap dipunggung kambing. Kambing merasa sekaranglah waktu yang tepat untuk melaksanakan rencananya. “Kawanku tekukur, tahukah kamu kalau selama ini aku bangga menjadi sahabatmu“ Kambing mulai merayu.

Tekukur menahan rasa senang atas pujian kambing kepadanya. “Mengapa begitu“ Tanya tekukur. “Karena kamu adalah hewan paling perkasa dinegeri kita. Kamu punya tanduk. Dan tanduk itu membuatmu takkan terkalahkan oleh siapapun“ kambing menambah rayuan gombalnya. “Betul katamu itu. Dengan tandukku ini, aku lah yang paling pantas menjadi pemimpin bangsa hewan“. “Betul kawan. Pada pemilihan nanti aku pastikan akan memberikan suaraku padamu“

Tekukur semakin mabuk pujian... “Tapi kawan…..” suara kambing pelan. “Kenapa?“ Tanya tekukur penasaran.

“Sebagai sahabat, bolehkah aku meminta sesuatu padamu? aku sudah lama memimpikan bisa merasakan bagaimana rasanya memakai tanduk perkasamu itu. Sudilah kiranya engkau meminjamkan tanduk itu padaku barang sekejap. Aku hanya ingin melihat penampilanku di air dengan tanduk itu“ mohon kambing dengan tatapan memelas.

Tekukur tampak bimbang. Ia khawatir melepas tanduknya itu. Namun pujian kambing dan wajahnya yang terlihat begitu polos cukup meyakinkan dimata tekukur. Belum lagi janji kambing untuk memberikan suara padanya di pemilihan kelak. Suara, itu yang penting.

“Hmmmmm, baiklah. Tapi cuma sekejap yah. Setelah bercermin disungai, kamu harus mengembalikan tandukku itu“ akhirnya tekukur pun luluh. Tekukur lalu melepas tanduknya. Kambing yang telah mengenakan tanduk tekukur pada kepalanya kemudian mohon izin kesungai untuk bercermin.

Namun, sampai malam menjelang kambing tak kunjung kembali. Tekukur mulai marah dan gelisah menunggu. Saat ia terbang berkeliling mencari tanduknya, seluruh hewan menolak memberitahukan keberadaan kambing. Mereka malah berbalik melawan. Mereka tak takut lagi pada tekukur. Mereka bahkan menertawakan tekukur yang tak punya tanduk lagi. Dengan perasaan campur aduk; malu, sedih, marah dan kecewa pada kambing, tekukur terbang.

Akhirnya tekukur menemukan kambing sementara asyik tidur dibawah pohon. Kedua tanduk tekukur kini melekat kuat dikepalanya Didorong rasa marah yang sangat, tekukur lansung menyerang si kambing dengan paruhnya, Kambing melonjak bangun dan balik menyerang tekukur dengan tanduk dikepalanya.

Tanpa tanduk dikepalanya, tekukur tak berdaya. Tekukur hanya mampu berteriak-teriak pilu dan menangis memohon agar kambing mengembalikan tanduknya.

“Tanrukkkuuu,….tanrukuuuuuuuuu,. tanrukkkuuuuuuu…” lolong tekukur. (dalam bahasa bugis, tanruk itu artinya tanduk). Kambing tidak mempedulikan rengekan tekukur. Malah ia balik mengejek tekukur.., “Weeheeheeek…weeeeeheeheeek…...”

Saat keduanya saling meneriaki, tiba-tiba, petir menggelegar diangkasa. Seluruh hewan panik dan berteriak-teriak saling memanggil satu sama lain dengan suara yang aneh. Sungguh, kini mereka tak lagi bisa bercakap seperti manusia. Harimau hanya bisa mengaum, kuda cuma meringkik, ular hanya sanggup mendesis.

Tahukah kamu kawan, saat itu juga, Tuhan telah mencabut kemampuan hewan untuk berbicara. Sebab kambing telah melanggar larangan untuk berbohong. Sebab kambing telah mengambil barang hewan lain dan tidak mengembalikannya. Maka dosa besar itu pun diganjar Tuhan dengan setimpal.

Sejak saat itu juga, hewan-hewan hanya mampu mengeluarkan satu bunyi khasnya masing-masing. Termasuk bunyi kambing yang diucapkannya terakhir kali yaitu ‘Weheeeheeeheekk..’ dan begitupun halnya dengan tekukur. Yah, dari sinilah awal mula bunyi tekukur yang khas dan terdengar merdu itu kawan.

"Tanrukkuuuuuu… tanrukkuuuuuuu….tanrukkuuuuuu…..!!!!!!!!!!!!!"



(Dongeng rakyat Sulawesi Selatan)
07.25 | 0 komentar

STATUS FB VIA BLACKBERRY TANPA BLACKBERRY

Written By cindi on Kamis, 04 November 2010 | 09.34

Berikut ada trik menarik mengenai cara mengupdate status di Facebook. Sebenarnya bermula dari hal iseng saja melihat status teman di facebook dengan embel-embel via Blackberry. Terlihat sungguh keren dan elegan karena ada logo Blackberry di status update. Ya.. karena sudah pasti si empunya punya perangkat Blackberry sehingga semua status di FB pasti diikuti dengan logo blackberry. Lain halnya dengan pemilik account FB yang tidak punya perangkat tersebut, pasti statusnya cuman adem ayem saja, hanya terlihat via Mobile web atau yang lainnya tanpa ada logo. Walau terkesan agak menipu, tapi trik ini mampu mengangkat rasa percaya diri anda.. hehe dan patut di coba..

Bagi teman-teman yang nggak punya perangkat canggih seperti blackberry atau iPhone tapi ingin tampil keren dan elegan dengan status FB-mu, berikut ada link yang bisa Anda kunjungi sehingga jika kamu update status langsung bisa seperti seolah-olah punya Blackberry atau iPhone.

Link tersebut tak lain adalah kubantudesign.com. Login dengan user name dan password dan silahkan update dengan berbagai pilihan ; via blackberry, via iPhone, via iPad dan lain-lain. Link tersebut dapat juga digunakan untuk peralatan mobile sederhana yang support dengah opera mini. Silahkan klik link dibawah ini :


Selamat mencoba!!!

09.34 | 0 komentar

Welcome Guys

Categories